Entri Populer

Rabu, 13 Oktober 2010

Kemacetan Jakarta, Siapakah yang bertanggung jawab?

Oleh

Ryan Alief Putra



      Berbicara tentang ibukota Jakarta, pasti yang pertama kali terlintas dalam benak kita adalah segudang permasalahan ibukota yang tak pernah terselesaikan, seperti: banjir, polusi, kemacetan, dan lain sebagainya. Permasalahan ini kian kompleks seiring pertumbuhan penduduk DKI Jakarta yang meningkat dari tahun ke tahun serta pesatnya perindustrian di Ibokota negara tersebut. Namun yang paling krusial adalah masalah kemacetan di DKI Jakarta. Sudah puluhan bahkan ratusan solusi diterbitkan untuk mengatasi masalah kemacetan di Jakarta. Namun sampai sejauh ini kemaccetan tak kunjung usai malahan semakin menjadi - jadi saja. Ibukota lumpuh. Bahkan para ahli memprediksi pada tahun 2015 Jakarta akan berada dalam stagnasi total. Itu artinya kemacetan sudah akan mengakibatkan mandeknya mobilitas kendaraan. Pertanyaanya, siapakah yang harus bertanggung jawab atas semua permasalahan ini?

     Berbicara tentang siapa yang harus bertanggung jawab, saya mengajak para pembaca untuk kembali mengingat tentang pembangunan di Indonesia di masa lampau. Khususnya di era orde baru.

     Sebagai ibukota negara, mempercantik dan memperindah Jakarta tentu adalah salah satu bagian dari rencana pembangunan di Ibukota. Pasalahnya ibukota negara merupakan cerminan pembangunan di suatu negara meski ini bukan ukuran yang relevan serta dapat dijadikan sebagai acuan. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, ada istilah yang di kenal dengan nama "Proyek Mercusuar". Proyek ini bertujuan untuk membangun sejumlah sarana serta upaya - upaya untuk menjadikan ibukota Jakarta menjadi kota yang indah sejajar dengan kota - kota di Eropa. Alhasil, bermunculanlah seperti: Hotel Indonesia, Gelora Senayan (Sekarang Gelora Bung Karno), Sarinah dan Jembatan Semanggi. Keempatnya memang sedikitnya memberikan nuansa ibukota pada kota Jakarta.

     Ketika Orde Baru berkuasa, pembangunan menjadi prioritas utama pemerintah kala itu. Paradigma pembangunan yang diterapkan kala itu cenderung bersifat sentralistis. Alhasil Jakarta menjadi tumpuan Indonesia. Sejak saat itu pusat bisnis, perekonomian, pemerintahan, perdagangan, perindustrian, dan jasa semua bertumpu di Jakarta. Walhasil banyak investor menanmkan modalnya di Jakarta dan membangun gedung - gedung megah di Jakarta. Pembangunan tersebut seiring berjalannya tahun kian membuat beban Jakarta menjadi berat. Permasalahan kemacetan mulai menjadi masalah utama di Jakarta. Padahal dengan luas wilayah yang hanya 650 km2 idealnya Jakarta cukup menjadi pusat pemerintahan dan bisnis. Alhasil dengan berkembang pesatnya pembangunan di Jakarta tentu saja banyak masyarakat yang mengadu nasib menjadikan Jakarta sebagai tempat mengadu nasib. Hasilnya tahun demi tahun Jakarta mengalami masalah kepadatan penduduk. Seiring dengan semakin padatnya penduduk otomatis volume kendaraan yang masuk ke Jakarta kian padat saja. Akhirnya kemacetan menjadi masalah utama di Jakarta. Setiap Gubernur baru yang terpilih kemacetan menjadi "PR" bagi gubernur yang berkuasa. Namun hingga detik ini belum ada satupun yang mampu mengatasi kemacetan di Jakarta.

      Dengan melihat kepada uraian diatas jelaslah bahwa masalah kemacetan di DKI Jakarta adalah akibat dari kesalahan paradigma pembangunan yang diterapkan oleh pemerintahan orde baru. Dengan demikian tentu kurang relevan bila masalah kemacetan di Jakarta hanya menjadi tanggung jawab pemeritah Provinsi DKI Jakarta semata. Pemerintah pusat juga harus ikut andil. Tentu cara yang utama  adalah dengan melakukan pemerataan pembangunan di berbagai daerah. Dengan meratanya pembangunan maka Jakarta tidak akan lagi menjadi tujuan utama untuk mengadu nasib. Terlebih dari itu tentunya bukan masalah kemacetan saja yang harus diselesaikan. Segudang permasalahan lain juga adalah penting. Banjir, polusi, kerusakan lingkungan, sanitasi, dan lain sebagainya juga harus diselesaikan. Sehingga Jakarta kelak akan menjadi ibukota yang ideal bagi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar