Entri Populer

Selasa, 30 November 2010

Monarkhi Jogjakarta, Demokratis atau Nggak sih?

Oleh


Ryan Alief Putra



Sebenarnya aku agak jarang menganalisis masalah beginian, karena sejujurnya aku selama ini total menganalisis masalah perekonomian apa itu mikro ekonomi atau makro ekonomi. Tapi berhubung masalah ini seperti sedang menjadi masalah aktual dan menjadi headline di berbagai berita ya nggak ada salahnya juga aku akan mencoba untuk menganalisis masalah ini.

Berbicara tentang sistem pemerintahan monarkhi, mungkin dalam pandangan kita akan lebih sering memandangnya sebagai suatu sistem pemerintahan yang sifatnya negatif. Barangkali kita masih ingat peristiwa yang melatarbelakangi terjadinya revolusi Prancis pada abad ke - 18 tidak bukan adalah sebagai gerakan melawan kekuasaan absolut monarkhi. Lantas bagaimana dengan Jogjakarta?

Monarkhi yang konon kabarnya dikaitkan dengan status daerah istimewa pada Jogjakarta, aku memandangnya sebagai suatu sistem monarkhi yang demokratis.Dikatakan demokratis karena jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi D.I. Yogyakarta yang dipegang oleh Sri Sultan Hamengkuwobono X dan Paku Alam tetap diawasi dan dimonitor pelaksanaanya oleh DPRD. Kemudian dikatakan demokratis juga, karena di daerah - daerah di Jogjakarta juga berlangsung proses Pilkada seperti daerah - daerah pada umumnya.

Barangkali yang bisa aku tangkap dari statement Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono mengenai monarkhi adalah tentang jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi D.I. Jogjakarta yang dipegang oleh Sri Sultan Hamengkuwobono X dan Paku Alam. Mengenai masalah ini kita perlu melihat secara kronologis mengapa dua raja tersebut memimpin daerah Jogjakarta.

Kronologinya begini, Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Jogjakarta yang ketika itu adalah wilayah yang bersifat kerajaan bisa saja melepaskan dari kesatuan NKRI. Namun Raja Jogjakarta kala itu yakni, Sri Sultan Hamengkuwobono IX menyatakan bahwa Jogjakarta adalah daerah istimewa yang merupakan bagian integral dari kesatuan NKRI dan Sri Sultan dan Paku Alam adalah pemimpin daerah Jogjakarta. Kala itu pernyataan Sultan Hamengkuwobono IX disetujui oleh Presiden Soekarno sehingga lahirlah Undang - Undang Keistimewaan Jogjakarta dimana konsekwensinya adalah Sri Sultan dan Paku Alam adalah pasangan pemimpin yang memimpin wilayah Jogjakarta.

Nah berdasarkan uraian tersebut, mungkin kalau kita melihat disatu sisi sepertinya ada hal yang kurang demokratis dimana pemimpin untuk Provinsi D.I. Jogjakarta hanya berasal dari kalangan Keraton. Namun bila dilihat dari segi intensitas absolut kekuasaan Gubernur dan Wakil Gubernur rasanya sejauh ini masih bisa dikatakan demokratis. Maksudnya kekuasaan mereka juga diawasi oleh DPRD. Nah sekarang itu menjadi kewajiban Pemerintah Pusat dan DPR untuk menyelesaikan RUU Keistimewaan Jogjakarta. Aku berpandangan jangan sampai terjadi referendum karena aku pribadi mengkhawatirkan akibatnya akan sama seperti kasus Timor - Timur tahun 1999 lalu yang berujung pada lepasnya Provinsi ke - 27 tersebut dari kesatuan NKRI.

Iya mungkin begitu saja pandanganku, barangkali masih banyak yang kurang. Tentu saja sebagai seorang pelajar aku masih terus belajar untuk lebih kritis terhada keadaan. Mohon kritik dan sarannya :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar